Cari Blog Ini

Minggu, 17 Maret 2019

Sejarah Asal Usul Suku Bima dan Kebudayaannya

Sejarah Asal Usul Suku Bima dan Kebudayaannya. Suku Bima atau biasa disebut juga suku Dou Mbojo merupakan etnis  yang mendiami Kabupaten Bima dan Kota Bima. Suku ini dikabarkan telah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit.

Etimologi

Ada beberapa versi yang mengatakan tentang asal mula kata Bima menjadi suku tersebut yaitu :

1. Ada pendapat yang mengatakan, Bima berasal dari kata “Bismillaahirrohmaanirrohiim”. Hal ini karena mayoritas suku Bima beragama Islam.

2. Menurut sebuah legenda, kata Bima berasal dari nama raja pertama suku tersebut, yakni Sang Bima.

Nama Bima sebenarnya merupakan sebutan dalam bahasa Indonesia, sedangkan masyarakt Bima sendiri menyebut dengan kata Mbojo. Dalam suku Bima sendiri terdapat dua suku, yakni suku Donggo dan suku Mbojo. Suku Donggo dianggap sebagai orang pertama yang telah mendiami wilayah Bima.

Sejarah Bima

Menurut Legenda yang tertulis dalam Kibat Bo’, suku Bima mempunyai 7 pemimpin di setiap daerah yang disebut Ncuhi. Pada masa pemberontakan di Majapahit, salah satu dari Pandawa Lima, Bima, melarikan diri ke Bima melalui jalur selatan agar tidak ketahuan oleh para pemberontak lalu berlabuh di Pulau Satonda.

Setelah berlabuh, Bima menetap dan menikah dengan salah seorang putri di wilayah tersebut, hingga memiliki anak. Bima adalah seseorang yang memiliki karakter kasar dan keras, tapi teguh dalam pendirian serta tidak mudah mencurigai orang lain. Karena itulah, para Ncuhi mengangkat Bima menjadi Raja pertama wilayah tersebut yang kemudian menjadi daerah yang bernama Bima. Sang Bima dianggap sebagai raja Bima pertama.

Tetapi Bima meminta kepada para Ncuhi agar anaknyalah yang diangkat sebagai raja. Karena dia akan kembali lagi ke Jawa. Bima menyuruh ke dua anaknya untuk memerintah Kerajaan Bima. Karena Bima berasal dari Jawa, sehingga sebagian bahasa Jawa Kuno kadang-kadang masih digunakan sebagai bahasa halus di Bima.

Sistem kepercayaan

Mayoritas suku Bima menganut agama Islam dan sebagian kecil menganut agama Kristen dan Hindu. Namun, ada satu kepercayaan yang masih dianut oleh suku Bima yang disebut dengan Pare No Bongi. Pare No Bongi merupakan kepercayaan asli orang Bima yang menganut kepercayaan terhadap roh nenek moyang. Dunia roh yang ditakuti adalah Batara Gangga sebagai dewa yang memiliki kekuatan yang sangat besar sebagai penguasa.

Selain itu juga ada Batara Guru, Idadari sakti dan Jeneng, roh Bake dan roh Jim yang tinggal di pohon atau gunung yang sangat besar dan dipercaya berkuasa untuk mendatangkan penyakit, bencana, dan lainnya. Juga terdapat sebatang pohon besar di Kalate yang dianggap sakti, Murmas tempat para dewa Gunung Rinjani; tempat tinggal para Batara dan dewi-dewi.

Pakaian Adat

Dalam masyarakat Bima, bagi kaum perempuan memiliki pakaian khas semacam sarung sebagai bawahan, ada juga yang menggunakan dua buah sarung, yang disebut rimpu. Rimpu adalah pakaian adat perempuan Bima yang digunakan untuk menutup aurat bagian atas dengan sarung sehingga hanya kelihatan mata atau wajahnya saja. Rimpu yang hanya kelihatan mata disebut rimpu mpida.

Rumah Adat

Rumah adat suku Bima bernama "Uma Lengge". Rumah tersebut memiliki struktur terbuat dari kayu, keseluruhan elemennya saling kait mengkait sehingga menjadi kesatuan dan berdiri diatas tiang-tiang. Tiang menumpu pada pondasi-yang berupa sebuah batu alam sebagai tumpuan tiang. Bangunan ini dirancang sangat kokoh agar tahan gempa dan angin.

Kesenian

Suku Bima memiliki tarian khas seperti :

1. Tari buja kadanda
2. Tari Perang
3. Tarian kalero

Tarian kalero yang berasal dari daerah Donggo lama yang merupakan tarian dan nyanyian yang berisi ratapan, pujian, pengharapan dan penghormatan terhadap arwah.

Kesenian lain masyarakat Bima adalah perlombaan balap kuda.

Bahasa

Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Bima atau Nggahi Mbojo yang termasuk dalam rumpun Bahasa Melayu Polinesia. Bahasa tersebut terdiri dari berbagai dialek, yaitu dialek Bima, Bima Dongo dan Sangiang. Dalam dialek bahasanya, mereka sering menggunakan huruf hidup dalam akhiran katanya, jarang menggunakan huruf hidup. Misalnya kata “jangang” diucapkan menjadi “janga”.

Mata pencaharian

Mata pencaharian utama adalah bertani dan sempat menjadi segitiga emas pertanian bersama Makassar dan Ternate pada zaman Kesultanan. Oleh karena itu, hubungan Bima dan Makassar sangatlah dekat, karena pada zaman Kesultanan, kedua kerajaan ini saling menikahkan putra dan putri kerajaannya masing.

Selain bertani, masyarakat Bima juga berladang, berburu dan berternak kuda yang berukuran kecil tapi kuat. Sejak abad ke-14 kuda Bima telah diekspor ke Pulau Jawa. Tahun 1920 daerah Bima telah menjadi tempat pengembangbiakkan kuda yang penting. Para wanita suku Bima membuat kerajinan anyaman dari rotan dan daun lontar, juga kain tenunan "tembe nggoli" yang terkenal.

Sumber referensi :
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bima diakses tanggal 19 April 2015
http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/1118/suku-bima-dou-mbojo diakses tanggal 19 April 2015
http://protomalayans.blogspot.com/2012/11/suku-bima-nusa-tenggara-barat.html diakses tanggal 19 April 2015Sejarah Asal Usul Suku Bima dan Kebudayaannya. Suku Bima atau biasa disebut juga suku Dou Mbojo merupakan etnis  yang mendiami Kabupaten Bima dan Kota Bima. Suku ini dikabarkan telah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit.

Etimologi

Ada beberapa versi yang mengatakan tentang asal mula kata Bima menjadi suku tersebut yaitu :

1. Ada pendapat yang mengatakan, Bima berasal dari kata “Bismillaahirrohmaanirrohiim”. Hal ini karena mayoritas suku Bima beragama Islam.

2. Menurut sebuah legenda, kata Bima berasal dari nama raja pertama suku tersebut, yakni Sang Bima.

Nama Bima sebenarnya merupakan sebutan dalam bahasa Indonesia, sedangkan masyarakt Bima sendiri menyebut dengan kata Mbojo. Dalam suku Bima sendiri terdapat dua suku, yakni suku Donggo dan suku Mbojo. Suku Donggo dianggap sebagai orang pertama yang telah mendiami wilayah Bima.

Sejarah Bima

Menurut Legenda yang tertulis dalam Kibat Bo’, suku Bima mempunyai 7 pemimpin di setiap daerah yang disebut Ncuhi. Pada masa pemberontakan di Majapahit, salah satu dari Pandawa Lima, Bima, melarikan diri ke Bima melalui jalur selatan agar tidak ketahuan oleh para pemberontak lalu berlabuh di Pulau Satonda.

Setelah berlabuh, Bima menetap dan menikah dengan salah seorang putri di wilayah tersebut, hingga memiliki anak. Bima adalah seseorang yang memiliki karakter kasar dan keras, tapi teguh dalam pendirian serta tidak mudah mencurigai orang lain. Karena itulah, para Ncuhi mengangkat Bima menjadi Raja pertama wilayah tersebut yang kemudian menjadi daerah yang bernama Bima. Sang Bima dianggap sebagai raja Bima pertama.

Tetapi Bima meminta kepada para Ncuhi agar anaknyalah yang diangkat sebagai raja. Karena dia akan kembali lagi ke Jawa. Bima menyuruh ke dua anaknya untuk memerintah Kerajaan Bima. Karena Bima berasal dari Jawa, sehingga sebagian bahasa Jawa Kuno kadang-kadang masih digunakan sebagai bahasa halus di Bima.

Sistem kepercayaan
Mayoritas suku Bima menganut agama Islam dan sebagian kecil menganut agama Kristen dan Hindu. Namun, ada satu kepercayaan yang masih dianut oleh suku Bima yang disebut dengan Pare No Bongi. Pare No Bongi merupakan kepercayaan asli orang Bima yang menganut kepercayaan terhadap roh nenek moyang. Dunia roh yang ditakuti adalah Batara Gangga sebagai dewa yang memiliki kekuatan yang sangat besar sebagai penguasa.

Selain itu juga ada Batara Guru, Idadari sakti dan Jeneng, roh Bake dan roh Jim yang tinggal di pohon atau gunung yang sangat besar dan dipercaya berkuasa untuk mendatangkan penyakit, bencana, dan lainnya. Juga terdapat sebatang pohon besar di Kalate yang dianggap sakti, Murmas tempat para dewa Gunung Rinjani; tempat tinggal para Batara dan dewi-dewi.

Pakaian Adat

Dalam masyarakat Bima, bagi kaum perempuan memiliki pakaian khas semacam sarung sebagai bawahan, ada juga yang menggunakan dua buah sarung, yang disebut rimpu. Rimpu adalah pakaian adat perempuan Bima yang digunakan untuk menutup aurat bagian atas dengan sarung sehingga hanya kelihatan mata atau wajahnya saja. Rimpu yang hanya kelihatan mata disebut rimpu mpida.

Rumah Adat

Rumah adat suku Bima bernama "Uma Lengge". Rumah tersebut memiliki struktur terbuat dari kayu, keseluruhan elemennya saling kait mengkait sehingga menjadi kesatuan dan berdiri diatas tiang-tiang. Tiang menumpu pada pondasi-yang berupa sebuah batu alam sebagai tumpuan tiang. Bangunan ini dirancang sangat kokoh agar tahan gempa dan angin.

Kesenian

Suku Bima memiliki tarian khas seperti :

1. Tari buja kadanda
2. Tari Perang
3. Tarian kalero

Tarian kalero yang berasal dari daerah Donggo lama yang merupakan tarian dan nyanyian yang berisi ratapan, pujian, pengharapan dan penghormatan terhadap arwah.

Kesenian lain masyarakat Bima adalah perlombaan balap kuda.

Bahasa

Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Bima atau Nggahi Mbojo yang termasuk dalam rumpun Bahasa Melayu Polinesia. Bahasa tersebut terdiri dari berbagai dialek, yaitu dialek Bima, Bima Dongo dan Sangiang. Dalam dialek bahasanya, mereka sering menggunakan huruf hidup dalam akhiran katanya, jarang menggunakan huruf hidup. Misalnya kata “jangang” diucapkan menjadi “janga”.

Mata pencaharian

Mata pencaharian utama adalah bertani dan sempat menjadi segitiga emas pertanian bersama Makassar dan Ternate pada zaman Kesultanan. Oleh karena itu, hubungan Bima dan Makassar sangatlah dekat, karena pada zaman Kesultanan, kedua kerajaan ini saling menikahkan putra dan putri kerajaannya masing.

Selain bertani, masyarakat Bima juga berladang, berburu dan berternak kuda yang berukuran kecil tapi kuat. Sejak abad ke-14 kuda Bima telah diekspor ke Pulau Jawa. Tahun 1920 daerah Bima telah menjadi tempat pengembangbiakkan kuda yang penting. Para wanita suku Bima membuat kerajinan anyaman dari rotan dan daun lontar, juga kain tenunan "tembe nggoli" yang terkenal.

Sumber referensi :
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bima diakses tanggal 19 April 2015
http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/1118/suku-bima-dou-mbojo diakses tanggal 19 April 2015
http://protomalayans.blogspot.com/2012/11/suku-bima-nusa-tenggara-barat.html diakses tanggal 19 April 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar