Kisah Salahudin-Anak Desa
“Selamatkan Bangsa” Hingga Mendapatkan Pengakuan Negara
Dunia
pendidikan memiliki visi utama, yakni “memanusiakan manusia” dengan cara
melibatkan berbagai pilar peting. Pasca reformasi bergulir sejak tahun 1998
hingga memasuki era globalisasi saat ini, pengakuan tentang terjadinya
“pergeseran nilai” di sejumlah aspek kehidupan anak bangsa bukanlah wacana
hampa. Tetapi, itu dinilai nyata jika berpijak pada fakta-fakta dari kondisi
sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat di Nusantara, tak terkecuali di
Bima. Selain terjebak pada terbaikannya pemahaman soal pendidikan, juga tak
sedikit anak bangsa yang “terjerumus” pada s
ejumlah masalah yang jauh dari
ekspektasi.
“Miskin
baca”, pun dinilai bukanlah fenomena baru yang terjadi di negeri ini, termasuk
di Bima. Sementara upaya mengembalikan nilai-nilai penting bagi anak bangsa,
dinilai hanya sedikit orang yang bisa melakoninya, mereka bergerak karena
keprihatinan diatas sebuah kondisi yang berpotensi mengarah kepada ancaman bagi
keberlangsungan hidup anak-anak negeri ini. Salahudin bisa jadi sebagai
“serpihan yang tersisa”, bergerak intens sebagai upaya menyelamatkan anak
bangsa dengan cara membangun “Rumah Baca” yang diberi nama Salahudin Al Ayyubi.
Kiprahnya alias kerja mulianya ini, praktis mendapat pengakuan dari Bupati Bima
hingga sukses memperoleh Piagam Penghargaan dari Negara.
Tampilan
Salahudin sangatlah sederhana. Cara bertutur sapanya sangat santun,
berhati-hati atas nama etika, budaya, agama hingga soal moral. Pria tergolong
muda yang lahir dari sebuah Desa di Kecamatan Sape ini (Salahudin), bukanloah
dari keluarga berada. Tetapi, ia adalah anak Desa yang yang terpanggil untuk
membangkitkan anak-anak untuk terus membaca buku sebagai salah satu sumber
utama ilmu pengetahuan-membedakan mana yang baik atau sebaliknya mulai dari
sekarang hingga selanjutnya
Wilayah
Kecamatan Sape dan Kecamatan Lambu adalah masyarakat etnis Bima yang mendiami
ujung timur pulau Sumbawa. Pada umumnya kegiatan masyarakat berdasarkan potensi
wilayah terbagi pada bidang pertanian, perikanan, peternakan dan sebagian lain
berprofesi sebagai guru, pegawai kantor dan lainya.
Kondisi
dan situasi demikian menjadikan sebagian besar tenaga dan waktu terkuras untuk
bercocok tanam. Anak-anak yang seharusnya
menikmati dunia kecil bermain dan tempat untuk menanamkan fondasi awal keilmuan
terkadang ‘terlupakan’ oleh orang tua. Bahkan untuk menempuh dunia pendidikan
pun, anak anak terkadang meninggalkannya dikarenakan harus ikut membantu orang
tua bekerja.
Dunia
baca dan bermain semakin jauh dari mereka ditambah lagi dengan faktor
demografis dimana lokasi pemukiman di desa-desa terpencil sehingga menyulitkan
akses ke perpustakaan kota. Sekolah yang seharusnya menjadi salah satu tempat
alternatif untuk menumbuh kembangkan minat baca siswa agak berkurang
menyediakan buku bacaan yang menarik. Sehingga kecintaan anak terhadap membaca,
secara perlahan-lahan mulai pudar seiring dengan perkembangan zaman.
Dari
data yang diperoleh menyebutkan hampir 90 % dari mereka mengaku tidak pernah
datang ke perpustakaan atau toko buku dan tidak mengenal buku-buku
ensiklopedia, novel dan sebagainya. Kemudian diperparah lagi dengan kondisi
dimana masih minimnya fasilitas dan sarana prasarana perpustakaan dan toko buku
yang memadai sehingga secara perlahan mengurangi motivasi bahkan membunuh minat
baca anak-anak.
Hal
ini dikhawatirkan akan melahirkan persoalan besar bagi generasi-genarasi ke
depannya. Mengingat wawasan dan ilmu pengetahuan yang minim. Pasti akan
berdampak buruk dalam pengembangan diri dan pada akhirnya merugikan masa depan
generasi-generasi penerus harapan daerah, bangsa dan negara.
Kondisi
objektif tersebut disadari sepenuhnya oleh seorang anak muda kelahiran desa
Sangia Kecamatan Sape. Berawal dari program Sastra go to school tahun 2014, ia
mendapatkan rekomendasi dari kepala UPT Dikpora setempat, gayung pun bersambut,
para pengawas turut merekomendasikan kegiatan tersebut yang dinilai sangat
positif. Mulailah anak muda kreatif ini (Salahudin) ‘bergerilya’ sendiri menuju
sekolah-sekolah yang menjadi sasaran dan target dari programnya. Dari kegiatan
sastra go to school inilah cikal bakal lahirnya gagasan perpustakaan keliling.
Tanpa
dibiayai ia bergerak sendiri karena niat dan tekat melaksanakan tugas mulya
telah benar-benar terpatri sehingga apapun yang menjadi halangan dan rintangan
akan dilalui dengan sabar dan ikhlas. Ya, empat tahun tepatnya 2014, anak muda
yang biasa disapa udin ini berkeliling dengan menggunakan sepeda motor tua,
membawa sejumlah buku yang dimasukan ke dalam karung, menempuh perjalanan yang
cukup jauh. Desa-desa terpencil menjadi tujuan utama perjalanan. Ia menyusur
kampung-kampung, dimana pun menemukan anak-anak yang sedang bermain, ia akan
menghentikan motornya.
Pahit
getir selama berjuang mencerdaskan anak bangsa sudah dilewatinya. Pengalaman
yang paling membekas saat ban motor pecah di tengah jalan, ia menggeretnya
sampai ketempat perbengkelan. Beruntunglah masih berada di wilayah kota, masih
dekat dengan bengkel. Bahkan, udin pernah ditimpa musibah ketika ban motor
pecah di tempat yang jauh dari kota, maka terpaksa perjalanan ditempuh dengan
berjalan kaki sembari memikul karung berisikan buku-buku. Sedangkan motor
dititipkannya di rumah warga. karena itulah satu satunya motor andalan, tempat
menggantungkan harapan dan cita-cita mulyanya.
Dari
kerja keras dan perjuangan yang tak mengenal kata lelah ini, ia kemudian
mendirikan Perpustakaan Keliling Rumah Baca Salahuddin Al Ayyubi, sebagai wadah/literasi untuk menumbuh
kembangkan minat baca sekaligus membuat anak-anak kecanduan membaca. Di samping
itu untuk memudahkan anak-anak dan masyarakat luas mengakses ilmu pengetahuan
dari buku-buku yang menarik,
Di
pinggir laut sekalipun anak-anak diajak untuk membaca buku oleh Salahudin
Hingga
tahun 2017 Salahudin telah melaksanakan perpustakan keliling di 23 Desa di
Kecamatan Lambu dan Kecamatan Sape. Motivasi dan minat baca anak-anak pun
semakin meningkat dengan kehadiran Rumah Baca Perpustakaan Keliling Salahudin
Al Ayyubi. Hal tersebut juga didorong oleh respon yang baik dari para orang
tua, tokoh masyarakat dan tokoh agama serta stakeholder pendidikan.
Saat
ini Salahudin tergabung dalam gerakan literasi berskala Nasional yaitu #AkuBaca
Kompas Gramedia Jakarta, dari Lembaga ini Salahudin memperoleh kiriman
buku-buku 80 eks. Kemudian tercatat pula namanya dalam lembaga GLNI (Gerakan
Literasi Nasional Indonesia) yang pada tanggal 17 setiap bulannya mendapatkan kiriman buku sebanyak 8 hingga 13
paket dimana 1 paket buku seberat 10 kg.
Maka
tidak heran, atas usaha dan kerja nyata yang dilakukan dalam mencerdaskan
masyarakat ini, Salahudin mendapatkan apresiasi dari Pemerintah Kabupaten Bima
berupa Library Award melalui Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten
Bima, Pengehargaan Pemuda Pelopor Nasional 2017, Penghargaan Perpusnas RI,
Motor Pustaka.
*Jenis Kegiatan*
Ø Bidang Sosial
1. Meraih penghargaan nasional Pemuda Pelopor di
Kemenpora, PERPUSNAS RI.
2. Penghargaan Library Award dari Bupati Bima,
melalui Dinas Perpustakaan Kabupaten Bima
3. Kegiatan Perpustakaan Keliling terdiri dari
membaca, menulis, melukis, mewarnai, bercerita /dongeng, bermain edukasi.
4. Melaksanakan kegiatan buta aksara. Rumah Baca
Salahuddin Al Ayyubi menyalurkan bantuan
buku tulis, polpen, tas sekolah, sepatu sekolah, baju sekolah, al quran,
iqra, juz amma, tuntutan sholat, yang diberikan kepada siswa yang tidak mampu
dan prestasi. Setiap kali dalam kegiatan perpustakaan keliling.
v Rumah Baca
Salahuddin Al Ayyubi dirintis sejak tahun 2014 hingga sampai sekarang*
Kiprah-Pengakuan atas Kiprah
Yayasan Salahuddin Al Ayyubi, Bima-NTB
1.
Setidaknya ada
4 relawan yang ikut tergabung literasi Rumah Baca Salahuddin Al Ayyubi, Azwar Muchaer (sekertaris/tutor), A. Haris
(Kabid Humas / tutor), Fitria (tutor) dan David (tutor).
2.
Telah
mempelopori 40 Taman Baca di Kabupaten dan Kota Bima
“Kami
tidak akan pernah berhenti dalam berjuang, membuka mata menyelmatkan anak
bangsa agar berkaca pada nilai-nilai penting bagi kehidupannya, baik untuk saat
ini maupun dikemudian hari. Diantara ratusan ribu anak khususnya di Bima, masih
banyak yang belum mengenal buku, Alqur’an dan lainnya. Mereka harus
diselamatkan. Oleh karenanya, hal itu merupakan tanggungjawab kita semua,”
tegas Salahudin. (TIM VISIONER)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusmantap
BalasHapus