Cari Blog Ini

Selasa, 19 Maret 2019

Lalu Muhammad Zohri dan Atlet NTB Peraih Medali Asian Games 2018 Dapat Hadiah Umrah


KIM-Parapi Sape., - Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) memberikan hadiah berupa umroh bagi atlet lokal yang berhasil menorehkan prestasi gemilang di ajang Asian Games 2018.

Kabar gembira itu disampaikan Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi NTB H Rosiady Sayuti, saat menerima rombongan atlet dan pelatih NTB yang baru kembali, usai berjuang dalam perhelatan Asian Games 2018 di Pendopo Gubernur NTB, Jumat (7/9/2018).

Sekda NTB menyampaikan apresiasi dan penghargaan bagi seluruh atlet dan pelatih, yang telah berjuang mewakili NTB pada pesta olah raga se-Asia beberapa waktu lalu.

Bahkan, Sekda juga mengatakan, apa yang dipersembahkan atlet NTB ini merupakan salah satu wujud persembahan NTB untuk Indonesia.

"Perjalanan masih panjang, prestasi harus dipertahankan bahkan ditingkatkan," kata Rosiady, seperti dilansir Antara.

Menurut Sekda, salah satu hal penting yang harus dilakukan untuk mempertahankan prestasi adalah melalui pencarian bakat. Dia berharap hadiah itu bisa memotivasi atlet-atlet lain NTB setelah sukses di Asian Games 2018. (www.bola.com)

Unjuk Rasa di Kecamatan Sape Ricuh, Dua Mobil Polisi Dirusak Massa

KIM - Parapi Sape., : Aksi unjuk rasa yang berlansung di Cabang Empat, Desa Bugis, Kecamatan, Sape, Kota Bima, Jumat (15/2/2019) pagi hingga sore hari berakhir ricuh.

Ratusan massa yang  menamakan diri Persatuan  Pemuda dan Masyarakat, Kecamatan Sape, Kota Bima, sejak pagi sekitar Pukul 09.30 WITA turun kejalan melakukan aksi unjuk rasa menggunakan 1 unit mobil pick up bernomor polisi B 9162 UT, menuntut  Pemerintah Kabupaten Bima mempebaiki Jalan Desa Bugis Lintas Desa Sangiang, Jalan Desa NaE Lintas, Desa Sangiang.

Selain itu, para pengunjuk rasa, juga menuntut  pemerintah setempat membuatkan irigasi jalan di Dusun Bajo, SaraE dan Dusun Gurung, Desa Bugis dan memperbaiki Jalan Lintas Toi.
Massa aksi yang dipimpin Koordinator Lapangan, Imam menyampaikan tidak akan membubarkan diri,  jika Bupati Bima, Hj. Dinda Dhamayanti Putri tidak menemui mereka.
“Kami harap Bupati Bima menemui kami dan kami tidak akan membubarkan diri, apabila tuntutan tidak di penuhi,” ujar Imam.

Ratusan massa sambil berorasi melakukan pemblokiran Jalan di Cabang Empat Lintas Pelabuhan Sape.

"Jalan ini tidak akan di buka, apabila bupati tidak menemu kami,” teriak para pengunjuk rasa.
Setelah menunggu beberapa saat sekitar Pukul 10.20 WITA, pihak Dinas PUPR Kabupaten Bima yang diwakili Kabid Bina Marga Roby Cater,ST dan Kasubag Program dan Pelaporan Ardiansyah,S.Si, M.Eng, didampingi Camat Sape, Kamaruddin,S.Sos dan Kapolsek Sape, AKP Syarifuddin Jamal serta Danramil Sape, Kapten (Inf) Junaid, menemui massa aksi dan melobi massa pengunjuk rasa untuk  mengajak mereka berkoordinasi. Namun massa aksi menolak dengan tetap melanjutkan orasinya.

Sampai Pukul 11.00 WITA suasana mulai reda, pemblokiran jalan pun sempat dibuka kembali, karena sudah memasuki  waktu sholat jumat. Namun pada Pukul 15.00  WITA,  massa aksi kembali turun kejalan melakukan pemblokiran jalan lintas pelabuhan Sape sambil melakukan orasi.

Aksi pemblokiran jalan masih terus berlangsung, hingga sekitar Pukul 16.10 WITA, pasukan mulai diturunkan terdiri dari satu peleton anggota Polres Kota, satu peleton anggota Brimob dan satu peleton anggota Kompi A Yonif 742/SWY tiba di Desa Bugis dipimpin Wakapolres Kota Bima,  Kompol Yusuf dan langsung melakukan pembubaran secara paksa aksi demonstrasi yang menutup jalan. 

Situasi sedikit memanas pada saat salah seoranh masa aksi bernama Ismaidin yang diduga sebagai provokator, diamankan oleh anggota Polres Kota Bima.
Pukul 17.00 WITA  massa aksi kembali orasi yang mengandung bahasa provokasi sehingga aparat keamanan menghentikan orasi mereka secara paksa mengamankan satu orang pengunjukrasa atas nama Ma'ruf. 

Seketika memancing massa aksi sampai pengunjuk rasa yang lain bereaksi melempar batu ke aparat sehingga aparat keamanan mengeluarkan tembakan peringatan serta tembakan gas air mata untuk membubarkan massa aksi dari warga Desa Bugis.

Akibat kejadian bentrok antara aparat dengan warga pengunjuk rasa, 5 orang dilaporkan mengalami luka ringan dan satu anggota Brimob terluka dalam peristiwa tersebut.

Kerugian materil dari peristiwa itu adalah, 2 unit mobil patroli polisi rusak,  yaitu 1 unit  Sabhara Polres dan satu mobil patroli kacanya pecah akibat dilempar massa dan 1  unit sepeda motor dinas milik Polsek Sape dibakar para pengunjuk rasa.
mobil truk

Situasi sampai pada Pukul 18.10 WITA, para korban dievakuasi ke RSUD Bima untuk mendapat perawatan. Sampai saat ini situasi sudah dapat dikendalikan aparat Kepolisian dan TNI. Tidak ada lagi konsentrasi massa di perempatan lintas Pelabuhan Sape.(KimParapiSape/rro.co.id)

Bupati Bima Resmikan Perpustakaan Keliling Salahuddin AL – Ayyubi


KIM-Parapi Sape., - Bupati Bima Hj. Indah Dhamayanti Putri  didampingi  Wakil Bupati Bima  Dahlan M.Noer Senin (5/12/2016) meresmikan perpustakaan keliling rumah baca Salahuddin Al – Ayyub  di desa Buncu kecamatan Sape.
Pada kesempatan tersebut, tampak hadir Kepala Perpustakaam dan Arsip Daerah Kabupaten Bima Dra. Hj. Ratnah Rauf, Pelaksana Tugas (plt) Camat Sape H.Makruf, SE Muspika dan tokoh masyarakat setempat.
Bupati Bima  dalam arahannya menyampaikan apresiasi kepada atas kiprah Salahudin yang telah menggagas pendirian Perpustakaan Keliling Rumah Baca Al – Ayyubi sebagai salah satu upaya penting mencerdaskan generasi muda di lingkungannya.
“Ide–ide cemerlang yang ditunjukkan Salahudin melalui pendirian rumah baca Al – Ayyubi ini, diharapkan patut menjadi contoh bagi anak-anak lainnya, sebab melalui wahana ini, generasi muda mendapakan kesempatan yang seluas-luasnya mendapatkan ilmu dengan membaca pada perpustakaan keliling. Kehadiran Perpustakaan Keliling ini tentu saja  sangat penting dalam menumbuh kembangkan  minat baca siswa dan generasi muda agar mencintai buku dan mencintai ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi masa depannya”. Terang Bupati.
Pada peresmian tersebut, ketua Panitia Rumah Baca Al – Ayyubi Salahuddin dalam laporan memaparkan, “perpustakaan keliling rumah baca Al – Ayyubi  dihajatkan untuk menumbuhkan minat baca kepada para siswa  agar  dapat mengisi kegiatan dengan hal positif selain menimba ilmu dari sekolah. Dirinya menyampaikan terima kasih atas dukungan bupati dan Wakil Bupati Bima bagi keberlanjutan rumah baca yang dirintisnya.
Saat ini lanjut Salahuddin, layanan rumah baca yang dipimpinnya memiliki 1.721 koleksi buku dan mengadakan perpustakaan keliling mencakup 5 yaitu desa Bugis, Kowo, Buncu, Lamere dan desa Poja. Kegiatan ini juga didukung Gerakan Bima Mengajar (GBM).
Pada kesempatan tersebut, Bupati Bima menyerahkan koleksi buku bacaan kepada Rumah Baca Al – Ayyubi desa buncu  dan diterima oleh Ketua Pengurus Al – Ayyubi Salahuddin.(Kim, 02 S)

Kisah Salahudin-Anak Desa “Selamatkan Bangsa” Hingga Mendapatkan Pengakuan Negara


Kisah Salahudin-Anak Desa “Selamatkan Bangsa” Hingga Mendapatkan Pengakuan Negara

Dunia pendidikan memiliki visi utama, yakni “memanusiakan manusia” dengan cara melibatkan berbagai pilar peting. Pasca reformasi bergulir sejak tahun 1998 hingga memasuki era globalisasi saat ini, pengakuan tentang terjadinya “pergeseran nilai” di sejumlah aspek kehidupan anak bangsa bukanlah wacana hampa. Tetapi, itu dinilai nyata jika berpijak pada fakta-fakta dari kondisi sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat di Nusantara, tak terkecuali di Bima. Selain terjebak pada terbaikannya pemahaman soal pendidikan, juga tak sedikit anak bangsa yang “terjerumus” pada s
ejumlah masalah yang jauh dari ekspektasi.




“Miskin baca”, pun dinilai bukanlah fenomena baru yang terjadi di negeri ini, termasuk di Bima. Sementara upaya mengembalikan nilai-nilai penting bagi anak bangsa, dinilai hanya sedikit orang yang bisa melakoninya, mereka bergerak karena keprihatinan diatas sebuah kondisi yang berpotensi mengarah kepada ancaman bagi keberlangsungan hidup anak-anak negeri ini. Salahudin bisa jadi sebagai “serpihan yang tersisa”, bergerak intens sebagai upaya menyelamatkan anak bangsa dengan cara membangun “Rumah Baca” yang diberi nama Salahudin Al Ayyubi. Kiprahnya alias kerja mulianya ini, praktis mendapat pengakuan dari Bupati Bima hingga sukses memperoleh Piagam Penghargaan dari Negara.

Tampilan Salahudin sangatlah sederhana. Cara bertutur sapanya sangat santun, berhati-hati atas nama etika, budaya, agama hingga soal moral. Pria tergolong muda yang lahir dari sebuah Desa di Kecamatan Sape ini (Salahudin), bukanloah dari keluarga berada. Tetapi, ia adalah anak Desa yang yang terpanggil untuk membangkitkan anak-anak untuk terus membaca buku sebagai salah satu sumber utama ilmu pengetahuan-membedakan mana yang baik atau sebaliknya mulai dari sekarang hingga selanjutnya
Wilayah Kecamatan Sape dan Kecamatan Lambu adalah masyarakat etnis Bima yang mendiami ujung timur pulau Sumbawa. Pada umumnya kegiatan masyarakat berdasarkan potensi wilayah terbagi pada bidang pertanian, perikanan, peternakan dan sebagian lain berprofesi sebagai guru, pegawai kantor dan lainya.

Kondisi dan situasi demikian menjadikan sebagian besar tenaga dan waktu terkuras untuk bercocok tanam.  Anak-anak yang seharusnya menikmati dunia kecil bermain dan tempat untuk menanamkan fondasi awal keilmuan terkadang ‘terlupakan’ oleh orang tua. Bahkan untuk menempuh dunia pendidikan pun, anak anak terkadang meninggalkannya dikarenakan harus ikut membantu orang tua bekerja.

Dunia baca dan bermain semakin jauh dari mereka ditambah lagi dengan faktor demografis dimana lokasi pemukiman di desa-desa terpencil sehingga menyulitkan akses ke perpustakaan kota. Sekolah yang seharusnya menjadi salah satu tempat alternatif untuk menumbuh kembangkan minat baca siswa agak berkurang menyediakan buku bacaan yang menarik. Sehingga kecintaan anak terhadap membaca, secara perlahan-lahan mulai pudar seiring dengan perkembangan zaman.
 
Dari data yang diperoleh menyebutkan hampir 90 % dari mereka mengaku tidak pernah datang ke perpustakaan atau toko buku dan tidak mengenal buku-buku ensiklopedia, novel dan sebagainya. Kemudian diperparah lagi dengan kondisi dimana masih minimnya fasilitas dan sarana prasarana perpustakaan dan toko buku yang memadai sehingga secara perlahan mengurangi motivasi bahkan membunuh minat baca anak-anak.

Hal ini dikhawatirkan akan melahirkan persoalan besar bagi generasi-genarasi ke depannya. Mengingat wawasan dan ilmu pengetahuan yang minim. Pasti akan berdampak buruk dalam pengembangan diri dan pada akhirnya merugikan masa depan generasi-generasi penerus harapan daerah, bangsa dan negara.

Kondisi objektif tersebut disadari sepenuhnya oleh seorang anak muda kelahiran desa Sangia Kecamatan Sape. Berawal dari program Sastra go to school tahun 2014, ia mendapatkan rekomendasi dari kepala UPT Dikpora setempat, gayung pun bersambut, para pengawas turut merekomendasikan kegiatan tersebut yang dinilai sangat positif. Mulailah anak muda kreatif ini (Salahudin) ‘bergerilya’ sendiri menuju sekolah-sekolah yang menjadi sasaran dan target dari programnya. Dari kegiatan sastra go to school inilah cikal bakal lahirnya gagasan perpustakaan keliling.

Tanpa dibiayai ia bergerak sendiri karena niat dan tekat melaksanakan tugas mulya telah benar-benar terpatri sehingga apapun yang menjadi halangan dan rintangan akan dilalui dengan sabar dan ikhlas. Ya, empat tahun tepatnya 2014, anak muda yang biasa disapa udin ini berkeliling dengan menggunakan sepeda motor tua, membawa sejumlah buku yang dimasukan ke dalam karung, menempuh perjalanan yang cukup jauh. Desa-desa terpencil menjadi tujuan utama perjalanan. Ia menyusur kampung-kampung, dimana pun menemukan anak-anak yang sedang bermain, ia akan menghentikan motornya.

Pahit getir selama berjuang mencerdaskan anak bangsa sudah dilewatinya. Pengalaman yang paling membekas saat ban motor pecah di tengah jalan, ia menggeretnya sampai ketempat perbengkelan. Beruntunglah masih berada di wilayah kota, masih dekat dengan bengkel. Bahkan, udin pernah ditimpa musibah ketika ban motor pecah di tempat yang jauh dari kota, maka terpaksa perjalanan ditempuh dengan berjalan kaki sembari memikul karung berisikan buku-buku. Sedangkan motor dititipkannya di rumah warga. karena itulah satu satunya motor andalan, tempat menggantungkan harapan dan cita-cita mulyanya.

Dari kerja keras dan perjuangan yang tak mengenal kata lelah ini, ia kemudian mendirikan Perpustakaan Keliling Rumah Baca Salahuddin Al Ayyubi,  sebagai wadah/literasi untuk menumbuh kembangkan minat baca sekaligus membuat anak-anak kecanduan membaca. Di samping itu untuk memudahkan anak-anak dan masyarakat luas mengakses ilmu pengetahuan dari buku-buku yang menarik,

Di pinggir laut sekalipun anak-anak diajak untuk membaca buku oleh Salahudin
Hingga tahun 2017 Salahudin telah melaksanakan perpustakan keliling di 23 Desa di Kecamatan Lambu dan Kecamatan Sape. Motivasi dan minat baca anak-anak pun semakin meningkat dengan kehadiran Rumah Baca Perpustakaan Keliling Salahudin Al Ayyubi. Hal tersebut juga didorong oleh respon yang baik dari para orang tua, tokoh masyarakat dan tokoh agama serta stakeholder pendidikan.

Saat ini Salahudin tergabung dalam gerakan literasi berskala Nasional yaitu #AkuBaca Kompas Gramedia Jakarta, dari Lembaga ini Salahudin memperoleh kiriman buku-buku 80 eks. Kemudian tercatat pula namanya dalam lembaga GLNI (Gerakan Literasi Nasional Indonesia) yang pada tanggal 17 setiap bulannya  mendapatkan kiriman buku sebanyak 8 hingga 13 paket dimana 1 paket buku seberat 10 kg.

Maka tidak heran, atas usaha dan kerja nyata yang dilakukan dalam mencerdaskan masyarakat ini, Salahudin mendapatkan apresiasi dari Pemerintah Kabupaten Bima berupa Library Award melalui Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten Bima, Pengehargaan Pemuda Pelopor Nasional 2017, Penghargaan Perpusnas RI, Motor Pustaka.  
*Jenis Kegiatan*
Ø Bidang Sosial 
1.  Meraih penghargaan nasional Pemuda Pelopor di Kemenpora, PERPUSNAS RI.
2.  Penghargaan Library Award dari Bupati Bima, melalui Dinas Perpustakaan Kabupaten Bima
3.  Kegiatan Perpustakaan Keliling terdiri dari membaca, menulis, melukis, mewarnai, bercerita /dongeng, bermain edukasi.
4.  Melaksanakan kegiatan buta aksara. Rumah Baca Salahuddin Al Ayyubi menyalurkan bantuan  buku tulis, polpen, tas sekolah, sepatu sekolah, baju sekolah, al quran, iqra, juz amma, tuntutan sholat, yang diberikan kepada siswa yang tidak mampu dan prestasi. Setiap kali dalam kegiatan perpustakaan keliling.
v  Rumah Baca Salahuddin Al Ayyubi dirintis sejak tahun 2014 hingga sampai sekarang*
Kiprah-Pengakuan atas Kiprah Yayasan Salahuddin Al Ayyubi, Bima-NTB
1.   Setidaknya ada 4 relawan yang ikut tergabung literasi Rumah Baca Salahuddin Al Ayyubi,   Azwar Muchaer (sekertaris/tutor), A. Haris (Kabid Humas / tutor), Fitria (tutor) dan David (tutor).
2.   Telah mempelopori 40 Taman Baca di Kabupaten dan Kota Bima

“Kami tidak akan pernah berhenti dalam berjuang, membuka mata menyelmatkan anak bangsa agar berkaca pada nilai-nilai penting bagi kehidupannya, baik untuk saat ini maupun dikemudian hari. Diantara ratusan ribu anak khususnya di Bima, masih banyak yang belum mengenal buku, Alqur’an dan lainnya. Mereka harus diselamatkan. Oleh karenanya, hal itu merupakan tanggungjawab kita semua,” tegas Salahudin. (TIM VISIONER)

Minggu, 17 Maret 2019

Sejarah Asal Usul Suku Bima dan Kebudayaannya

Sejarah Asal Usul Suku Bima dan Kebudayaannya. Suku Bima atau biasa disebut juga suku Dou Mbojo merupakan etnis  yang mendiami Kabupaten Bima dan Kota Bima. Suku ini dikabarkan telah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit.

Etimologi

Ada beberapa versi yang mengatakan tentang asal mula kata Bima menjadi suku tersebut yaitu :

1. Ada pendapat yang mengatakan, Bima berasal dari kata “Bismillaahirrohmaanirrohiim”. Hal ini karena mayoritas suku Bima beragama Islam.

2. Menurut sebuah legenda, kata Bima berasal dari nama raja pertama suku tersebut, yakni Sang Bima.

Nama Bima sebenarnya merupakan sebutan dalam bahasa Indonesia, sedangkan masyarakt Bima sendiri menyebut dengan kata Mbojo. Dalam suku Bima sendiri terdapat dua suku, yakni suku Donggo dan suku Mbojo. Suku Donggo dianggap sebagai orang pertama yang telah mendiami wilayah Bima.

Sejarah Bima

Menurut Legenda yang tertulis dalam Kibat Bo’, suku Bima mempunyai 7 pemimpin di setiap daerah yang disebut Ncuhi. Pada masa pemberontakan di Majapahit, salah satu dari Pandawa Lima, Bima, melarikan diri ke Bima melalui jalur selatan agar tidak ketahuan oleh para pemberontak lalu berlabuh di Pulau Satonda.

Setelah berlabuh, Bima menetap dan menikah dengan salah seorang putri di wilayah tersebut, hingga memiliki anak. Bima adalah seseorang yang memiliki karakter kasar dan keras, tapi teguh dalam pendirian serta tidak mudah mencurigai orang lain. Karena itulah, para Ncuhi mengangkat Bima menjadi Raja pertama wilayah tersebut yang kemudian menjadi daerah yang bernama Bima. Sang Bima dianggap sebagai raja Bima pertama.

Tetapi Bima meminta kepada para Ncuhi agar anaknyalah yang diangkat sebagai raja. Karena dia akan kembali lagi ke Jawa. Bima menyuruh ke dua anaknya untuk memerintah Kerajaan Bima. Karena Bima berasal dari Jawa, sehingga sebagian bahasa Jawa Kuno kadang-kadang masih digunakan sebagai bahasa halus di Bima.

Sistem kepercayaan

Mayoritas suku Bima menganut agama Islam dan sebagian kecil menganut agama Kristen dan Hindu. Namun, ada satu kepercayaan yang masih dianut oleh suku Bima yang disebut dengan Pare No Bongi. Pare No Bongi merupakan kepercayaan asli orang Bima yang menganut kepercayaan terhadap roh nenek moyang. Dunia roh yang ditakuti adalah Batara Gangga sebagai dewa yang memiliki kekuatan yang sangat besar sebagai penguasa.

Selain itu juga ada Batara Guru, Idadari sakti dan Jeneng, roh Bake dan roh Jim yang tinggal di pohon atau gunung yang sangat besar dan dipercaya berkuasa untuk mendatangkan penyakit, bencana, dan lainnya. Juga terdapat sebatang pohon besar di Kalate yang dianggap sakti, Murmas tempat para dewa Gunung Rinjani; tempat tinggal para Batara dan dewi-dewi.

Pakaian Adat

Dalam masyarakat Bima, bagi kaum perempuan memiliki pakaian khas semacam sarung sebagai bawahan, ada juga yang menggunakan dua buah sarung, yang disebut rimpu. Rimpu adalah pakaian adat perempuan Bima yang digunakan untuk menutup aurat bagian atas dengan sarung sehingga hanya kelihatan mata atau wajahnya saja. Rimpu yang hanya kelihatan mata disebut rimpu mpida.

Rumah Adat

Rumah adat suku Bima bernama "Uma Lengge". Rumah tersebut memiliki struktur terbuat dari kayu, keseluruhan elemennya saling kait mengkait sehingga menjadi kesatuan dan berdiri diatas tiang-tiang. Tiang menumpu pada pondasi-yang berupa sebuah batu alam sebagai tumpuan tiang. Bangunan ini dirancang sangat kokoh agar tahan gempa dan angin.

Kesenian

Suku Bima memiliki tarian khas seperti :

1. Tari buja kadanda
2. Tari Perang
3. Tarian kalero

Tarian kalero yang berasal dari daerah Donggo lama yang merupakan tarian dan nyanyian yang berisi ratapan, pujian, pengharapan dan penghormatan terhadap arwah.

Kesenian lain masyarakat Bima adalah perlombaan balap kuda.

Bahasa

Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Bima atau Nggahi Mbojo yang termasuk dalam rumpun Bahasa Melayu Polinesia. Bahasa tersebut terdiri dari berbagai dialek, yaitu dialek Bima, Bima Dongo dan Sangiang. Dalam dialek bahasanya, mereka sering menggunakan huruf hidup dalam akhiran katanya, jarang menggunakan huruf hidup. Misalnya kata “jangang” diucapkan menjadi “janga”.

Mata pencaharian

Mata pencaharian utama adalah bertani dan sempat menjadi segitiga emas pertanian bersama Makassar dan Ternate pada zaman Kesultanan. Oleh karena itu, hubungan Bima dan Makassar sangatlah dekat, karena pada zaman Kesultanan, kedua kerajaan ini saling menikahkan putra dan putri kerajaannya masing.

Selain bertani, masyarakat Bima juga berladang, berburu dan berternak kuda yang berukuran kecil tapi kuat. Sejak abad ke-14 kuda Bima telah diekspor ke Pulau Jawa. Tahun 1920 daerah Bima telah menjadi tempat pengembangbiakkan kuda yang penting. Para wanita suku Bima membuat kerajinan anyaman dari rotan dan daun lontar, juga kain tenunan "tembe nggoli" yang terkenal.

Sumber referensi :
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bima diakses tanggal 19 April 2015
http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/1118/suku-bima-dou-mbojo diakses tanggal 19 April 2015
http://protomalayans.blogspot.com/2012/11/suku-bima-nusa-tenggara-barat.html diakses tanggal 19 April 2015Sejarah Asal Usul Suku Bima dan Kebudayaannya. Suku Bima atau biasa disebut juga suku Dou Mbojo merupakan etnis  yang mendiami Kabupaten Bima dan Kota Bima. Suku ini dikabarkan telah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit.

Etimologi

Ada beberapa versi yang mengatakan tentang asal mula kata Bima menjadi suku tersebut yaitu :

1. Ada pendapat yang mengatakan, Bima berasal dari kata “Bismillaahirrohmaanirrohiim”. Hal ini karena mayoritas suku Bima beragama Islam.

2. Menurut sebuah legenda, kata Bima berasal dari nama raja pertama suku tersebut, yakni Sang Bima.

Nama Bima sebenarnya merupakan sebutan dalam bahasa Indonesia, sedangkan masyarakt Bima sendiri menyebut dengan kata Mbojo. Dalam suku Bima sendiri terdapat dua suku, yakni suku Donggo dan suku Mbojo. Suku Donggo dianggap sebagai orang pertama yang telah mendiami wilayah Bima.

Sejarah Bima

Menurut Legenda yang tertulis dalam Kibat Bo’, suku Bima mempunyai 7 pemimpin di setiap daerah yang disebut Ncuhi. Pada masa pemberontakan di Majapahit, salah satu dari Pandawa Lima, Bima, melarikan diri ke Bima melalui jalur selatan agar tidak ketahuan oleh para pemberontak lalu berlabuh di Pulau Satonda.

Setelah berlabuh, Bima menetap dan menikah dengan salah seorang putri di wilayah tersebut, hingga memiliki anak. Bima adalah seseorang yang memiliki karakter kasar dan keras, tapi teguh dalam pendirian serta tidak mudah mencurigai orang lain. Karena itulah, para Ncuhi mengangkat Bima menjadi Raja pertama wilayah tersebut yang kemudian menjadi daerah yang bernama Bima. Sang Bima dianggap sebagai raja Bima pertama.

Tetapi Bima meminta kepada para Ncuhi agar anaknyalah yang diangkat sebagai raja. Karena dia akan kembali lagi ke Jawa. Bima menyuruh ke dua anaknya untuk memerintah Kerajaan Bima. Karena Bima berasal dari Jawa, sehingga sebagian bahasa Jawa Kuno kadang-kadang masih digunakan sebagai bahasa halus di Bima.

Sistem kepercayaan
Mayoritas suku Bima menganut agama Islam dan sebagian kecil menganut agama Kristen dan Hindu. Namun, ada satu kepercayaan yang masih dianut oleh suku Bima yang disebut dengan Pare No Bongi. Pare No Bongi merupakan kepercayaan asli orang Bima yang menganut kepercayaan terhadap roh nenek moyang. Dunia roh yang ditakuti adalah Batara Gangga sebagai dewa yang memiliki kekuatan yang sangat besar sebagai penguasa.

Selain itu juga ada Batara Guru, Idadari sakti dan Jeneng, roh Bake dan roh Jim yang tinggal di pohon atau gunung yang sangat besar dan dipercaya berkuasa untuk mendatangkan penyakit, bencana, dan lainnya. Juga terdapat sebatang pohon besar di Kalate yang dianggap sakti, Murmas tempat para dewa Gunung Rinjani; tempat tinggal para Batara dan dewi-dewi.

Pakaian Adat

Dalam masyarakat Bima, bagi kaum perempuan memiliki pakaian khas semacam sarung sebagai bawahan, ada juga yang menggunakan dua buah sarung, yang disebut rimpu. Rimpu adalah pakaian adat perempuan Bima yang digunakan untuk menutup aurat bagian atas dengan sarung sehingga hanya kelihatan mata atau wajahnya saja. Rimpu yang hanya kelihatan mata disebut rimpu mpida.

Rumah Adat

Rumah adat suku Bima bernama "Uma Lengge". Rumah tersebut memiliki struktur terbuat dari kayu, keseluruhan elemennya saling kait mengkait sehingga menjadi kesatuan dan berdiri diatas tiang-tiang. Tiang menumpu pada pondasi-yang berupa sebuah batu alam sebagai tumpuan tiang. Bangunan ini dirancang sangat kokoh agar tahan gempa dan angin.

Kesenian

Suku Bima memiliki tarian khas seperti :

1. Tari buja kadanda
2. Tari Perang
3. Tarian kalero

Tarian kalero yang berasal dari daerah Donggo lama yang merupakan tarian dan nyanyian yang berisi ratapan, pujian, pengharapan dan penghormatan terhadap arwah.

Kesenian lain masyarakat Bima adalah perlombaan balap kuda.

Bahasa

Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Bima atau Nggahi Mbojo yang termasuk dalam rumpun Bahasa Melayu Polinesia. Bahasa tersebut terdiri dari berbagai dialek, yaitu dialek Bima, Bima Dongo dan Sangiang. Dalam dialek bahasanya, mereka sering menggunakan huruf hidup dalam akhiran katanya, jarang menggunakan huruf hidup. Misalnya kata “jangang” diucapkan menjadi “janga”.

Mata pencaharian

Mata pencaharian utama adalah bertani dan sempat menjadi segitiga emas pertanian bersama Makassar dan Ternate pada zaman Kesultanan. Oleh karena itu, hubungan Bima dan Makassar sangatlah dekat, karena pada zaman Kesultanan, kedua kerajaan ini saling menikahkan putra dan putri kerajaannya masing.

Selain bertani, masyarakat Bima juga berladang, berburu dan berternak kuda yang berukuran kecil tapi kuat. Sejak abad ke-14 kuda Bima telah diekspor ke Pulau Jawa. Tahun 1920 daerah Bima telah menjadi tempat pengembangbiakkan kuda yang penting. Para wanita suku Bima membuat kerajinan anyaman dari rotan dan daun lontar, juga kain tenunan "tembe nggoli" yang terkenal.

Sumber referensi :
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bima diakses tanggal 19 April 2015
http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/1118/suku-bima-dou-mbojo diakses tanggal 19 April 2015
http://protomalayans.blogspot.com/2012/11/suku-bima-nusa-tenggara-barat.html diakses tanggal 19 April 2015